Rabu, 21 November 2007

Mengikis kesulitan belajar nahwu sharaf dalam bahasa Arab

MAHIR BERBAHASA ARAB
Mengikis Kesulitan Pembelajaran Ilmu Sharaf di Madrasah
Oleh Miftahul Anwar, S.Ag
( Guru MTs N Subah Batang/ Mahasiswa S2 UIN Jakarta)

Pendahuluan
Sharaf atau tashsrif merupakan ilmu yang sangat urgen bagi peminat bahasa Arab, karena sharaf merupakan alat untuk menguasai bahasa Arab fushhah secara sempurna disamping ilmu nahwu. Berangkat dari hal tersebut “apapun alasannya” pembelajaran sharaf tak dapat dihindarkan. Karena pada dasarnya tujuan pembelajaran sharaf adalah mengenalkan dan membiasakan peminat bahasa Arab menggunakan kaidah-kaidah sharaf secara tepat, sehingga terhindar dari kesalahan lisan, baca dan kesalahan dalam ekspresi tulisan ( Fahr al Din Amir, tt).
Ada sebagian ahli bahasa Arab kontemporer yang menjadikan nahwu dan sharaf suatu bagian yang tak terpisahkan ( Abduh ar Rajih, 1979). Fonemena ini boleh jadi timbul dikarenakan kebiasaan para ahli bahasa Arab “sejak Sibawaih” ketika menulis ilmu nahwu turut menyertakan sharaf di dalamnya. Dan ini menurut penulis sah-sah saja meskipun kedua cabang ilmu tersebut mempunyai peranan dan garapan yang berbeda. Jika boleh penulis mengibaratkan nahwu dan sharaf sebuah keluarga. Sharaf ialah ibu bagi bahasa Arab karena dari sharaf lahir kata-kata Arab yang memiliki arti yang beragam, sedangkan nahwu adalah bapaknya, karena ia mengatur kata-kata yang telah lahir itu dalam susunan kalimat yang benar.
Sehingga wajar ketika Dr Abduh ar Rajih dalam Fiqh al lughah fi al kitab al Arabiyah menganjurkan kepada peminat pemula bahasa Arab untuk mempelajari sharaf terlebih dahulu dibandingkan nahwu( Abduh ar Rajih, 1979).
Namun yang disayangkan sebagian siswa non Arab khususnya di Indonesia mengalami kesulitan dalam menekuni bahasa Arab, hemat penulis boleh jadi ini disebabkan missorientasi terhadap sharaf, siswa disibukkan dengan tata bahasa yang cenderung teoritis bukan bahasa Arab itu sendiri secara pragmatis. Pada akhirnya sebagaimana pengamatan Dr. Ahmad Syalabi ketika berkunjung ke Indonesia bahwa sebagian besar siswa yang menekuni bahasa Arab bertahun-tahun lamanya, hanya mahir dalam tata bahasa tidak dalam bahasa itu sendiri ( Ahmad Syalabi, 1980).
Lebih-lebih para siswa madrasah formal yang pendekatan pengajaranya hingga kini masih banyak cenderung menggunakan metode tata bahasa dan terjemah walaupun dalam buku panduan dari Depag para guru diharapkan menggunakan metode eclektic/ campuran, tapi lagi-lagi pengunaan metode qowaid/ tata bahasa lebih dominan. Hal tersebut tidak lepas dari kompetensi guru-guru di madrasah yang ada sekarang ini. Jika melihat terbatasnya waktu dan materi maka perlu diimbangi kompetensi pengajar bahasa Arab yang ideal.
Berangkat dari uraian di atas penulis berupaya keras untuk menghandirkan penyederhanaan pembelajaran sharaf bagi para siswa non Arab yang selanjutnya dapat diaplikasikan untuk para siswa di madarasah-madrasah formal. Dalam makalah ini penulis tidak menghadirkan sesuatu yang baru dalam pembelajaran ilmu sharaf, melainkan peran penulis hanya mengambil dan merangkum dari para ahli bahasa terdahulu maupun kontemporer lewat beberapa literatur yang ada.

Penyederhanaan Kaidah Sharaf
Dari pendahuluan dapat kita pahami bahwa ilmu sahraf hanyalah alat untuk menghantarkan peminat bahasa Arab menguasai bahasa Arab fushhah. Secara sederhana ketika siswa belajar sharaf akan semakin mudah menguasai bahasa Arab dan bukan sebaliknya bertambah runyam dan dibingungkan oleh kaidah sharaf itu sendiri.
Penulis mencoba mendiagnosa kesulitan yang ada pada ilmu sharaf sehingga menyulitkan para siswa di antaranya, Pertama; adanya penambahan huruf dalam beberapa fi’il yang selanjutnya mengandung arti yang berbeda-beda, kedua; adanya i’lal dan ibdal dan yang ketiga; adanya beberapa wazan dalam isim, seperti isim alat, isim maf’ul, isim fa’il dll. Boleh jadi keresahan itu benar adanya karena secara kebahasaan sharaf atau tashhrif bermakna perubahan, sehingga kemudian siswa akan menemukan perubahan itu baik penambahan maupun pergantian huruf baik pada fi’il maupun isim, hal itulah yang membingungkan siswa.
Sebagaimana kita tahu bahwa garapan ilmu sharaf ada dua macam yaitu al-af’al al mutasharrifah dan al asma’ al mutamakkinah. Pertama, pada al af’al mutasharrifah. Secara umum fi’il terdiri dari tiga huruf (asli) walaupun ada yang empat atau lima huruf tapi jumlahnya relatif sedikit dan selebihnya kita kenal huruf tambahan. Para ulama sharaf telah membuat al mizan al sharfi ( timbangan dalam ilmu sharaf) yaitu fa’ala ( fa’ – ‘a – la ) ( Taufiq M Syahin, tt). Ini dimaksudkan untuk memudahkan siswa mengacu af’al lainnya kepada wazan fa’ala. Pengajar cukup menyebut huruf tambahan bagi fi’il yang berjumlah sepuluh huruf yang terangkum dalam kalimat sa’altumuniha. Langkah pertama pengajar mengenalkan kepada siswa al auzan al sharfiyah tersebut kepada siswa sehingga ketika siswa menemukan beberapa fi’il lain yang memiliki lebih dari tiga huruf (huruf asli) siswa langsung dapat mengenali mana huruf yang asli dan mana yang tambahan. Dan mengenai pembahasan tentang bebrapa fi’il yang telah mengandung huruf tambahan ( al af’al al mazidah ba al ahruf) tidak perlu diuraikan secara panjang lebar karena itu bisa dipahami bersamaan ketika membaca sebuah teks. Misalnya ketika siswa menemukan fi’il istaghfara dalam sebuah teks, pengajar akan menjelaskan bahwa wazan tersebut memiliki arti permintaan, sehingga siswa akan tahu dengan sendirinya istaghfara berarti meminta ampun. Dan tidak perlu diuraikan mengapa hal itu bisa terjadi secara panjang lebar. Adapun kaidah i’lal dan ibdal bagi pemula tidak perlu dijelaskan secara mendetail, pengajar hanya cukup memberikan contoh dari kaidah tersebut, seperti qoil aslinya qowil untuk mempermudah pengucapan menjadi qoil dengan mengubah huruf waw dengan hamzah.
Kedua, pada al asma’ al mutamakkinah juga memiliki wazan, siswa cukup hanya menghafal wazan dan kata/ isim lainnya dapat di qiyaskan kepada wazan tersebut. Misalnya wazan isim alat adalah mif’alun/ mif’alatun maka ketika kita siswa menemukan miftahun berarti akan diketahui maknannya yaitu alat untuk membuka atau kunci. Miknasatun alat untuk menyapu/ sapu dan sebagainya.
Dan yang patut ditekankan adalah tidak semua kaidah sharaf layak untuk diajarkan secara terperinci kepada siswa non arab. Oleh kerena itu pengajar ilmu sharaf/ guru bahasa Arab seharusnya membatasi betul materi kaidah sharaf yang layak untuk disampaikan kepada siswa, sehingga kaidah sharaf yang tadinya dirasa susah akan terasa mudah.

Metodologi Yang Ditawarkan.
Meskipun materi kaidah sharaf telah disederhanakan sedemikan rupa, pembelajaran akan kurang sempurna jika metode yang digunakan kurang tepat, bahkan sebagian ahli pendidikan berpendapat bahawa al thariqotu ahammu min al maddah/ metode lebih penting dari materi itu sendiri. Oleh karena itu penulis tawarkan metode yang dapat digunakan guna mendukung upaya pengikisan kesulitan pembelajaran ilmu sharaf.
Namun metode-metode dibawah ini hanya sebagai alternatif karena masing-masing metode mempunyai kelemahan dan kelebihan. Juga metode tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi, misalnya faktor keadaan siswa juga faktor sarana prasarana yang mendukung. Yang tentunya satu madrasah berbeda dengan madrasah yang lain.
Pertama; metode deduktif/ analogi yaitu metode yang memilih bentuk pembelajarannya dimulai dari penyajian kaidah-kaidah sharfiyah terlebih dahulu lalu kalau perlu dihafalkan kaidah-kaidah tersebut lalu diikuti dengan contoh-contoh yang dapat memperjelas kaidah yang dipelajari.
Menurut penggemarnya metode ini dinilai sederhana, mudah dan cepat dimengerti dan diaplikasikan dalam membaca dan membuat kalimat baru, tetapi metode ini memiliki kelemahan kurang bermakna pada model hafalan dan imitasi tanpa disertai pemahaman/ al muhakat al amya ( Mahmud Ruysdi Khatir, tt).
Kedua, Metode Induktif yaitu kebalikan dari metode yang pertama. Pembelajaran diawali dengan penyajian contoh-contoh yang relevan, lalu dibaca, didiskusikan, disimpulkan dalam bentuk kaidah. Oleh karena itu metode ini mengikuti lima langkah; pendahuluan/ muqaddimah, penyajian/ ardl, pengaitan/ rabt, penyimpulan kaidah/ isthimbatu al kaidah dan aplikasi/ tathbiq ( Hasan Syahathah, 1996). Keunggulan metode ini mendorong siswa untuk terlibat akatif dalam proses pembelajaran, terutama berlatih dalam berpikir logis. Menurut ahli bahasa lain metode ini dinilai lebih alami. Namun menurut penetangnya, metode ini dinilai dalam proses pembelajaran kaidah kepada siswa sangat lambat, kaidah yang dibangun dan disimpulkan dari contoh-contoh yang diberikan terkadang tidak proporsional. Satu kaidah tidak jarang hanya disimpulkan dari satu, dua contoh bahkan contoh-contoh hanya berorientasi generalisasi dalam bentuk kaidah tidak mempertimbangkan relevansi makna contoh-contoh.
Ketiga; Metode Teks Terpadu atau dikenal dengan tariqah al nusus al mutakammilah, metode ini menawarkan cara yang relatif memadahi dalam pembelajaran kaidah sharf, karena metode ini didasarkan pada teks terpadu atau utuh yang berisi satu topik.
Dalam aplikasinya siswa diminta membaca teks lalu mendiskusikan kandungannya lalu guru menunjukkan kalimat-kalimat tertentu dalam teks yang mengandung unsur kaidah yang hendak didiskusikan kemudian dari beberapa kalimat itu diambil kesimpulan dalam bentuk kaidah dan akhirnya siswa diminta mempraktekan kaidah sharaf itu dalam contoh-contoh kalimat baru( Thuaymah dan Manna, 2000).
Namun metode ini memerlukan waktu yang lebih banyak yang mungkin menjadi kelemahannya. Namun menurut hemat penulis metode ini paling baik karena baersifat terpadu, tidak hanya belajar kaidah sharaf itu sendiri melainkan jiga belajar menganalisa kosa kata dan fi’il baru bahkan memahami makna keseluruhan makna teks, siswa dapat berinteraksi dengan teks dan dalam waktu bersamaan dilatih untuk memperoleh pemahaman dan penyimpulan kaidah sharaf yang ditarik dari teks yang sudah dipahami. Bukankah sharf hanyalah alat untuk mencapai sebuah tujuan yaitu mahar dalam berbahasa, bukan mahir dalam tata bahasa. Dan bukankah setandar kelulusan mata pelajaran bahasa Arab menurut peraturan yang terbaru dari Depag terfokus pada kemahiran membaca atau memahami teks Arab.

Kesimpulan
Dari uraian di atas di atas dapat disimpulkan bahwa sharaf adalah alat untuk menguasai bahasa Arab fushhah, oleh karena itu jika kaidah sharaf hendak disederhanakn maka guru bahasa Arab hendaknya jeli melihat kaidah atau penjelasan yang layak disampaikan kepada siswa. Disamping itu pula guru bahasa Arab perlu memilih metode yang tepat, metode teks terpadu menurut penulis lebih tepat karena disamping memahami kaidah sharaf siswa juga mampu memahami teks Arab hal ini sesuai pila dengan semangat pembelajaran bahasa Arab dengan pendekatan al nadzariah al wahdah sebagaimana yang digariskan dalam kurikulum terbaru.
Dalam pembelajaran sharaf guru diperlukan melakukan dirasat taqabuliyah / studi konstrastif antara sistem gramatika bahasa Arab dengan bahasa ibu ( Indonesia) dengan tujuan memperoleh aspek-aspek kesamaan dan perbedaan di antara kedua bahasa dan pada akhirnya diperoleh grdasi yang tepat untuk pembelajaran bahasa Arab khususnya ilmu sharaf karena perbedaan sistem bahasa antara bahasa Arab dengan bahasa ibu ( Indonesia) seringkali menjadi penyebab kesulitan belajar bahasa asing/ Arab. Semoga bermanfaat.